Membayangkan dunia tanpa petani/pertanian sama seperti
membayangkan hidup tanpa pangan. Demikian pula, membayangkan negara
yang abai pada rakyat sama seperti membayangkan negara tanpa
kedaulatan. Saat ini, angan-angan (imajinasi) gelap itu justru hendak
diwujudkan oleh penyelenggara negara, dengan cara menjadi
budak/antek-antek korporasi.
Atas nama pembangunan, negara dan perusahaan semakin gencar
mengambil alih tanah petani. Atas nama kesejahteraan, petani secara
perlahan dan teratur diubah menjadi buruh cadangan. Atas nama
kepentingan umum, ruang hidup petani dipersempit bahkan dihilangkan
untuk memperkaya segelintir konglomerat. Atas nama kemajuan, petani
dikelabuhi untuk melepas hak hidupnya, melepas tanahnya, melepas
pekerjaannya, melepas jatidirinya, melepas kehormatannya sebagai
rakyat; sebagai manusia.
Apa yang tertulis dalam UUD 1945 (konstitusi) sama sekali bertolak
belakang dengan apa yang terjadi dalam kenyataan. Tertulis bahwa:
kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, kenyataannya:
kedaulatan negara dan bangsa berada dalam kendali konglomerat. Adalah
fakta bahwa pemerintah bukan pelayan rakyat, melainkan hamba
korporasi. Negara yang semula dimaksudkan sebagai alat untuk
mengelola kekuasaan dan alat untuk mencapai kesejahteraan rakyat,
kini justru beralih menjadi alat untuk melestarikan penindasan
terhadap rakyatnya sendiri, alat bagi komplotan politik dan pemodal
untuk menumpuk kekayaan. Di kampung bernama Indonesia ini, para
pencuri menyamar menjadi tamu agung dan lancang mengatur tuan rumah
pemilik sah kekayaan ibu pertiwi.
Hukum bukan lagi ruang di mana rakyat dapat menemukan keadilan,
tetapi hukum menjadi pembenaran atas pelanggaran asas-asas keadilan.
Saat ini, pemerintah mencanangkan pengurasan kekayaan alam Indonesia
dan pengusiran terhadap penduduk yang dianggap menghambat perluasan
modal, dengan produk hukum/kebijakan yang membenarkan tindakan
tersebut, antara lain:
1. UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum
2. UU No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
3. UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
4. UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara
5. RUU Keamanan Nasional
6. PP No 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025
2. UU No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
3. UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
4. UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara
5. RUU Keamanan Nasional
6. PP No 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025
Sejarah Indonesia adalah sejarah konflik agraria yang berlangsung
sejak jaman kolonial, dan berlanjut hingga kini. Konflik agraria
belum selesai atau sengaja dirawat untuk mengukuhkan tatanan yang
menguntungkan penguasa dan pengusaha. Dan, di dalam konflik agraria
itulah, aksi-aksi kekerasan terhadap rakyat dilakukan oleh aparat
negara dan dilegitimasi atas nama undang-undang. Kriminalisasi,
teror, intimidasi, penculikan, dan penembakan terhadap petani/pejuang
hak-hak rakyat adalah contoh nyata bahwa negara memilih menggunakan
kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Sementara, label kekerasan
justru disematkan kepada rakyat yang dianggap menghambat masuknya
modal, dengan dalih bahwa: aparat negara menjaga stabilitas keamanan
(modal). Kekerasan juga dilakukan oleh elemen masyarakat dengan cara
mendukung wacana ala negara dan korporasi, dengan slogan perjuangan:
melawan tanpa kekerasan, agar rakyat tidak berbuat apapun ketika
negara mengkhianati amanat rakyat. Tindakan rakyat untuk
mempertahankan/merebut kembali hak-haknya bukanlah kekerasan,
melainkan perjuangan sebagaimana perjuangan bersenjata para pejuang
kemerdekaan di jaman kolonial.
Konflik agraria adalah tanda bahwa rakyat belum merdeka, bahkan
bukan hanya rakyat, melainkan juga tanda bahwa negara telah
kehilangan kedaulatannya. Kemerdekaan bukanlah kebebasan tanpa batas,
bukan pula antikerjasama, kemerdekaan adalah lepas dari
ketergantungan; berdaulat dalam mengambil keputusan; dan semangat
untuk mengandalkan kekuatan sendiri.
Forum Komunikasi Masyarakat Agraris digagas, dirumuskan, dan
dibentuk oleh komunitas-komunitas petani/masyarakat yang menjadi
korban persekongkolan Negara dengan Korporasi atas sumberdaya agraria
(ruang hidup). Dengan tema: Menuju Gerakan Akar Rumput yang Mandiri,
FKMA ke-2 meletakkan kembali posisi rakyat di atas negara, dan
meletakkan korporasi di bawah kendali negara. Dengan tetap waspada
terhadap upaya-upaya perampasan sumberdaya agraria/pasar tanah, FKMA
ke-2 menghasilkan butir-butir sebagai berikut:
1. Melawan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan akibat
kejahatan korporasi, negara dan persekongkolan keduanya dalam
pengurusan sumberdaya alam/agraria, yaitu:
- Menolak latihan TNI dan ujicoba senjata berat oleh TNI/AD,
pertambangan pasir besi di Kebumen.
- Menolak pertambangan pasir besi dan Jalur Jalan Lintas Selatan Jawa di Kulon Progo.
- Menolak pertambangan pasir besi dan PLTN, PLTU, di Bandungharjo dan Balong, Jepara.
- Menolak pertambangan karst dan pendirian pabrik semen di pegunungan Kendeng, Pati.
- Menolak privatisasi air tanah oleh Proyek Pengembangan Gas Jawa (PPGJ) di Kradenan, privatisasi air oleh PT Gendhis Multi Manis di Bentolo, dan pendirian pabrik semen di pegunungan Kendeng, Blora.
- Menolak rencana pertambangan pasir besi di Wotgalih, dan menuntut penghentian pertambangan sepanjang pesisir selatan Lumajang.
- Menuntut pemulihan hak hidup sepenuhnya korban LAPINDO dan bukan sekedar ganti rugi tanah dan bangunan dan penolakan pengeboran LAPINDO di Sidoarjo.
- Menolak penggusuran oleh Pemerintah Kabupaten Bantul dengan dalih Pelarangan Pelacuran menurut Perda No 5 Tahun 2007, di Parangtritis, Bantul.
- Menuntut pembubaran PTPN VII Cinta Manis dan menolak keterlibatan TNI/POLRI dan paramiliter (preman) dalam penanganan konflik agraria, di Ogan Ilir, Sumatera Selatan.
- Menolak pembangunan pabrik Aqua Danone dan Pembangunan Proyek Geothermal, di Padarincang, Banten.
- Menolak pertambangan pasir di Ciamis dan Tasikmalaya.
- Menolak pertambangan pasir besi dan Jalur Jalan Lintas Selatan Jawa di Kulon Progo.
- Menolak pertambangan pasir besi dan PLTN, PLTU, di Bandungharjo dan Balong, Jepara.
- Menolak pertambangan karst dan pendirian pabrik semen di pegunungan Kendeng, Pati.
- Menolak privatisasi air tanah oleh Proyek Pengembangan Gas Jawa (PPGJ) di Kradenan, privatisasi air oleh PT Gendhis Multi Manis di Bentolo, dan pendirian pabrik semen di pegunungan Kendeng, Blora.
- Menolak rencana pertambangan pasir besi di Wotgalih, dan menuntut penghentian pertambangan sepanjang pesisir selatan Lumajang.
- Menuntut pemulihan hak hidup sepenuhnya korban LAPINDO dan bukan sekedar ganti rugi tanah dan bangunan dan penolakan pengeboran LAPINDO di Sidoarjo.
- Menolak penggusuran oleh Pemerintah Kabupaten Bantul dengan dalih Pelarangan Pelacuran menurut Perda No 5 Tahun 2007, di Parangtritis, Bantul.
- Menuntut pembubaran PTPN VII Cinta Manis dan menolak keterlibatan TNI/POLRI dan paramiliter (preman) dalam penanganan konflik agraria, di Ogan Ilir, Sumatera Selatan.
- Menolak pembangunan pabrik Aqua Danone dan Pembangunan Proyek Geothermal, di Padarincang, Banten.
- Menolak pertambangan pasir di Ciamis dan Tasikmalaya.
2. Menyerukan/mengajak semua elemen masyarakat sipil untuk
mendukung perjuangan gerakan akar rumput menuju gerakan yang mandiri.
3. Memaksa pemerintah untuk menghentikan kriminalisasi serta
membebaskan petani dan pejuang hak-hak rakyat dari tahanan akibat
konflik agraria.
4. Memerintahkan ke
pada Presiden RI dan jajaran penyelenggara negara untuk mewujudkan
hak-hak rakyat atas sumberdaya agraria/ruang hidup.
5. Menyerukan korporasi untuk menghentikan segala upaya
perampasan/pengambilalihan lahan yang menjadi ruang hidup rakyat.
6. Mengecam keberpihakan TNI/Polri dan paramiliter pada korporasi
dan menolak aksi-aksi kekerasan TNI/Polri dan paramiliter dalam
penanganan konflik sosial.
7. Memerintahkan kepada segenap penyelenggara negara untuk tidak
membuat atau mencabut kebijakan yang menjadi legitimasi bagi
perampasan hak rakyat, terutama hak atas sumberdaya agraria.
8. Mengecam segala bentuk persekongkolan antar elemen masyarakat,
seperti LSM, parpol, gerakan mahasiswa, organisasi masyarakat,
organisasi keagamaan, institusi pendidikan/akademisi, media, dan
sebagainya yang melemahkan perjuangan gerakan akar rumput/rakyat
dalam memperjuangkan keadilan agraria.
9. Menyerukan solidaritas untuk kelompok-kelompok masyarakat yang
terampas hak-haknya di seluruh dunia.
Yogyakarta, 10 Februari 2013
1. Kelompok Tani BERDIKARI, Sumedang
2. Urutsewu Bersatu, Kebumen
3. Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), Kulon Progo
4. Forum Silaturhmi Masyarakat Wotgalih (FOSWOT), Lumajang
5. Forum Nelayan (FORNEL) dan Persatuan Masyarakat Balong (PMB) Jepara
6. Serikat Petani Blora Selatan, Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) Blora
7. Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dan Sedulur Sikep, Pati
8. Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Front Pemuda Rengas (FPR) Ogan Ilir, Sumatera Selatan
9. Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP), Parangtritis, Bantul
10. Suara Korban Lumpur LAPINDO/AL-FAZ, Sidoarjo
11. BALE RUHAYAT, Ciamis dan Tasikmalaya
12. Gerakan Rakyat Anti Pembangunan Aqua Danone (GRAPAD), Banten
2. Urutsewu Bersatu, Kebumen
3. Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), Kulon Progo
4. Forum Silaturhmi Masyarakat Wotgalih (FOSWOT), Lumajang
5. Forum Nelayan (FORNEL) dan Persatuan Masyarakat Balong (PMB) Jepara
6. Serikat Petani Blora Selatan, Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) Blora
7. Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dan Sedulur Sikep, Pati
8. Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Front Pemuda Rengas (FPR) Ogan Ilir, Sumatera Selatan
9. Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP), Parangtritis, Bantul
10. Suara Korban Lumpur LAPINDO/AL-FAZ, Sidoarjo
11. BALE RUHAYAT, Ciamis dan Tasikmalaya
12. Gerakan Rakyat Anti Pembangunan Aqua Danone (GRAPAD), Banten
In solidarity,
Redaksi Kokemi