Kejadian pembakaran kantor Bupati Bima, kemarin (26/1), murni kemarahan warga terhadap pemerintah dan kapitalis. Tak ada hukum yang memiliki otoritas untuk menuduh kami sebagai instrumen tunggal kerusuhan. kami warga yang sudah muak dengan kompromi, kami ingin sebuah perubahan yang radikal. kami sudah memulainya.
Kita tak perlu lagi Kompromi dengan Mereka! kalimat ini yang harusnya menyesak dalam otak kita, Di berbagai daerah, Petani tampil di garis depan untuk mempertahankan tanah dan sumber daya dari penetrasi Kapital yang kian massif membunuh. Sedangkan di kota dan pusat-pusat industri, Para pekerja melancarkan pemogokan, sabotase, blokade jalan tol sampai pembakaran seperti di Bima sebagai bentuk protes terhadap represipemerintahan, kapitalis dan sekutunya.
Sudah menjadi kebiasaan di Indonesia, Media-Media kapitalis dan Penguasa plus sekutunya Pemerintahan, untuk memfalsifikasi subjek makna dan tuntutan dari setiap aksi massa warga yang sedang marah.
Cara berfikir pemerintahan ini bukanlah gaya yang baru. Di jaman kolonial, hingga saat ini logika negara tak pernah berubah, tetap sama dan permanen. Penguasa lihai mengolah kata dan stigma untuk mendiskreditkan perlawanan warga.
Pola itu juga dipakai dan dikembangkan oleh rejim totalitarianisme orde baru. Jangan heran, ketika orde baru berkuasa, penghancuran gerakan massa dilakukan sangat massif.
Watak negara adalah permanen. Sama-sama mengabdi kepada kepentingan kapital alias pemilik modal. Tak akan pernah berubah dan statis, negara tidak lebih dari seperangkat alat perpanjangan tangan kepentingan kapital. Dengan demikian, negara tidak pernah netral ketika berhadapan dengan perbenturan kepentingan warga versus pemilik modal.
Di sini, negara memihak kepentingan kapital dan menggunakan aparatus kekerasannya untuk menindas perlawanan massa vs Kapitalis.
Sekarang pun watak negara tidak berubah. Malahan, jika kita lihat, negara neoliberal benar-benar perpanjangan tangan kapital. Ini tidak saja nampak dalam pengerahan aparatus kekerasan negara untuk menindas rakyat, tetapi juga sangat nampak pada lahirnya berbagai regulasi yang memfasilitasi kepentingan ekspansi kapital di Indonesia.
Meningkatnya perlawanan warga versus korporasi / kapitalis membawa pesan jelas: tingkat penetrasi dan derajat eksploitasi kapital makin massif.