FOKUS

OTHER LANGUAGE

SIAPA KAMI

Redaksi Kokemi (Korban Kejahatan Militer dan Korporasi) adalah sebuah Projek Investigasi bersama, Solidaritas tanpa batas dan usaha pengarsipan data kejahatan Militer dan Korporasi. Selain itu, Page ini kami inisiasi sebagai usaha interupsi atas kebringasan media maistream yang senatiasa tetap aktif mereposisi amarah menjadi sesuatu yang justru dikotomik.

Anda dapat berkontribusi di Page ini.
Kontribusi dapat berupa Opini | Artikel | Komunike | Laporan | Rilis | Foto | Video atau segala bentuk material kampanye yang dapat mendukung Perjuangan Pembebasan melawan Tirani dan Otoritas

Kiriman dialamatkan Pada redaksi kami:
Email : redaksikokemi @ gmail.com
Facebook Page : Redaksi Kokemi

Mengurai Konstrasi Marxisme Libertarian dan oto kritiknya terhadap Anarkisme

Adalah kualitas dari bentuk libertarian – demokratik, humanis, dan anti-negara yang memungkinkan kalangan anarkis memakai aspek-aspek yang berasal dari Marxisme (seperti analisis ekonomi ataupun teori perjuangan kelas). Walau masih mengandung beberapa kelemahan mendasar dari Marxisme. Dan dalam beberapa hal bahkan juga sebagai kelemahan dari banyak varian anarkisme, ketimbang menjadi
alternatif. Versi Marxisme yang ini memiliki banyak kesamaan dengan pandangan kaum anarkis walau tetap masih ada yang secara mendasar cacat, sebagaimana yang akan kujelaskan.

Sejak kurang lebih dari era 30-an hingga 80-an, posisi anarkisme adalah marjinal di tengah dominasi gereakan kiri international oleh Marxisme. Di saat yang sama di tahun 60-an, di Amerika Serikat dimulai dengan apa yang disebut “demokrasi partisipatoris” , periode yang diakhiri dengan nyanyian “Ho,Ho,Ho Chi Minh, The NLF pasti menang” serta pendekatan pada buku Mao Little Red – untuk mendukung negara barbaris Stalinis. Bahkan aspek-aspek libertarian dalam Marxisme justru diabaikan, seperti organisasi kelas pekerja atau tujuan akan sebuah masyarakat tanpa pekerja yang teralienasi.

Namun di 1989 Tembok Berlin runtuh, berturut setelahnya Uni Sovyet. China memeluk sistem pasar terbuka berbasis kapitalisme. Secara luas, Marxisme didiskreditkan. Bagaimanapun kapitalisme global tidaklah berkembang, kolapsnya kapitalisme negara di Rusia sesunggunya adalah bagian dari krisis global kapitalisme. Dengan bertumbuhnya oposisi yang sebelumnya adalah varian-varian dari Marxisme, telah menyalurkan dirinya ke dalam radikalisme lain: anarkisme.

Sejarah akan kekalahan dan penghianatan dalam Marxisme memasuki dua gelombang besar. Sejak masa Engels, dengan pembentukan partai-partai Sosial Demokraasi di Eropa. Dimana mengambil strategi kecil selain mengupayakan untuk duduk di parlemen, mereka membangun partai-partai massa dan serikat-serikat yang birokratik, hingga kehancurannya dalam PD I. banyak dari partai-partai tersebut mendukung pemerintahan imperialis di masing-masing negaranya dan berperang melawan negara-negara anggota Sosialis Inetrnational. Pada PDI I mereka menentang Revolusi Rusia dan menyabot revolusi di negara mereka, terutama Jerman. Era 30-an, mereka kalah melawan fasisme, dalam hal ini Nazisme. Dukungan yang sama sekali tidak kritis juga terhadap Sekutu pada PD II, mereka kemudian menjadi agen-agen imperialisme Amerika Serikat pada Perang Dingin. Lalu sekarang, partai-partai Sosdem dan Buruh di Eropa mempercayai dengan kuat akan sebuah bentuk masyarakat baru, dengan mengadvokasi sebuah bentuk terlemah dari liberalisme, yang tidak lain adalah neo-liberalisme.

Dalam Perang Dunia I, Lenin, Trotsky dan lainnya berkeinginan untuk sebuah permulaan baru, yakni kembali ke akar revolusioner Marxisme dalam International yang baru. Dan hasilnya sebagaimana setiap orang tahu, negara kapitalis stalinis di Rusia, dan pembentukan partai-partai Stalinis di berbagai negara. Para Stalinis sepenuhnya gagal dalam revolusi kelas pekerja di Eropa maupun di tempat lain (sebagai sasaran asli proyek tersebut). Partai Komunis yang baru hanya dibentuk oleh tentara Rusia dan laskar tani yang dipimpin oleh elit-elit intelektual – mereka yang berasal dari kekuatan non-pekerja. Setelah menciptakan tumpukan-tumpukan mayat, Kapitalisme Negara Rusia terjebak dalam inefisiensinya sendiri yang kemudian pada akhirnya kolaps. Ini kemudian mewariskan penderitaan di Eropa Timur dan sebagian besar Asia. Partai-partai Komunis yang ada kini sama liberalnya dengan partai-partai Sosdem.

Sebagai pelengkap dari dua kegagalan besar Marxisme ini, upaya Trotsky untuk membangun kembali Marxisme Leninisme dalam International Keempat adalah termasuk dari kegagalan tersebut. kecenderungan berbagai Trotskyist hari ini adalah bentuk varian dari Stalinisme, nasionalisme, dan atau sosdem reformis.
Sejarah tersebut akan memperlihatkan Marxisme sebagai hal yang diragukan sepenuhnya. Betapa pun, Marxisme bukanlah hanya pemikiran-pemikiran yang bagus, seperti Kristianitas. Ia harus dipraksiskan, sebuah teori dan praktek. Seperti perkataan Engels, “Untuk mengetahui rasa kue puding kita mesti memakannya.” Kegagalan besar haruslah meragukan hal ini.

Bagaimanapun, Marxisme melanjutkan hal yang menarik dari gerakan Kiri, terutama memudarnya ingatan akan “Komunisme negara-kapitalis” . Hal tersebut memiliki tubuh teori – keseluruhan pustaka teori – dan sebuah sejarah akan pengalaman dalam berbagai revolusi besar sejak 1848. Anarkisme, di sisi lain, terkenal tipis akan sumber teori sementara pengalaman revolusionernya mendua. Oleh karenanya banyak penganut anarkisme mencari tambatan dari Marxisme yang mungkin bisa konsisten dengan nilai-nilai dalam anarkisme.

Minoritas ini menjadi kecenderungan dalam Marxisme yang disebut Marxisme Libertarian, atau menurut Harry Cleaver (2000) Marxis Otonomis (makna ‘libertarian’ disini tidak ada hubungannya dengan kelompok Kanan, pro-kepemilikan, libertarian amerika). Secara historis, tendensi-tendensi yang memiliki kontribusi dalam perkembangan ini adalah kaum “Komunis Konsilis” Eropa setelah PD I, dan “Jhonson-Forest Tendency” (C.L.R James dan Raya Dunayevskya) di era 40 – 50-an, yang keluar dari gerakan Trotskyis, sebagaimana kelompok Socialisme atau Barbarisme-nya Castroardis di Perancis. Ada juga para Situasionis Perancis, dan gerakan-gerakan “Otonomis” terkini di Jerman dan Italia (yang mengejutkan, saya jarang mendapatkan referensi di AS mengenai William Morris, seorang Marxis utopis Inggris yang termasyhur pada 1880-an). Para pengikut Dunayevkya masih menjalankan Komite The News and Letter. Dalam beberapa hal, Castoriadis sangat menarik bahwa dia dan kelompoknya berupaya keras Marxisme Libertarian keluar dari Marxisme secara umum (Curtis, 1997; Dunayevskaya, 1992; Glaberman, 1999; Rachleff, 1976).

Banyak kaum anarkis dapat dilihat sebagai varian dari Marxisme libertarian. Noam Chomsky dalam pengantar sebuah buku anarkisme, mengutip Anton Pannekoek tokoh Komunisme Konsil dan menyimpulkan, “Faktanya, Marxisme radikal bergabung dengan arus-arus anarkis” (1970; xv). Namun, beberapa kalangan Marxis menolak hubungan tersebut. Antonio Negri, pemikir terkemuka dari Otonomis Italia, mengungkapkan dengan tegas dalam bukunya yang berpengaruh, Empire, “…kami bukan anarkis, tetapi komunis…” (Hardt & Negri, 2001; 350). Sementara Cleaver, sang Marxis otonomis (dan mungkin dialah yang menemukan istilah tersebut) menulis di papernya (1993) yang membahas kesamaan yang kuat antara Kropotkin dan Marxisme Cleaver. Dua orang pengikut C.L.R. James menulis, “Marxisme dapat diartikan dengan berbagai bentuk dari anarkisme libertarian sampai kediktatoran totaliter Stalinis. Dan kami cenderung pada yang pertama…” (Glaberman & Faber, 1998;2). Dalam pengertian, inilah kesempatan terakhir dari Marxisme untuk membuktikan ia bisa membebaskan… atau hanya baru saja pantas.

Kaum anarkis boleh saja sepakat atau tidak dengan analisis ekonomi politik Marx. Bagi anarkis, apa yang menjadi hal paling baik dari kecenderungan libertarian dalam Marxisme adalah keyakinan atas bentuk swa-aktifitas kelas pekerja. Mereka menolak anggapan bahwa seorang elit (dalam bentuk sebuah partai) dapat berdiri atas nama pekerja dan berkuasa atasnya. Sebagai gantinya, mereka menekankan pembangunan dewan (council) pekerja dan dewan rakyat dalam pergolakan revolusioner (Root & Branch, 1975). Dewan-dewan inilah yang menurut mereka, yang seharusnya bersatu sebagai kekuatan baru, menggantikan bentuk-bentuk dari negara lama. Ketimbang memfokuskan diri dalam jajaran petinggi serikat pekerja yang besar dan birokratik, mereka lebih memilih perjuangan dari bawah, untuk menunjukkan bagaimana inisiatif kelas pekerja dapat berdampak pada proses produksi harian (Glaberman & Faber, 1998). Mereka mempelajari bagaimana caranya sebuah aksi massa yang dapat mengambil alih kendali, melampaui apa yang digariskan oleh pejabat serikat pekerja (Brecher, 1972). Ketertarikan mereka adalah pada kreatifitas kelas pekerja dan seluruh kelas tertindas, yang dalam istilah Negri dan Cleaver disebut ‘self-valorization’ . Beberapa pemikiran revolusioner yang terpenting dari Perjuangan Pembebasan Kaum Kulit Hitam dikembangkan oleh C.L.R. James – walaupun ide-idenya lebih banyak berkembang sebelum perpecahannya dengan Trotskyisme (McLernee, 1996).

Selama masa Depresi Besar dan Perang Dingin, ketika kaum anarkis masih sedikit, Marxis otonomis tetap mempertahankan gagasan-gagasan akan swa-aktifitas dari para pekerja. Mereka tetap mempertahankan oposisi revolusioner terhadap Stalinisme sebagai hal yang serupa dengan kapitalisme Barat. Mereka menganalisis Stalinisme dengan baik sebagai bentuk Kapitalisme Negara, alih-alih sebagai jenis masyarakat menuju sosialisme (negara pekerja, masyarakat paska kapitalis, negara transisi, dll). Mereka mengumumkan bahwa paska PD II, kemenangan kapitalis tersebut sesungguhnya mengandung cacat. Prediksinya adalah keruntuhan – sebagaimana terbukti di tahun 60-an (Mattick, 1969). Para anarkis menghargai semua ini.

Para Marxis libertarian terus mengupayakan reinterpretasi Marxisme dari versi ortodoks yang diajarkan oleh kaum sosial demokrat maupun para Stalinis. Marxisme kebanyakan melihat proses sejarah berjalan dengan sendirinya, tahap demi tahap, antitesis setelah tesis, hingga kapitalisme mencapai tahapan akhirnya (secara optimis disebut dengan kapitalisme lanjut, atau kapitalisme tahap akhir), yang kemudian dengan tidak terelakkan akan digantikan sosialisme, lalu komunisme. Sejarah bagi Marxis ortodoks adalah sesuatu yang terjadi terhadap manusia sebagai lawan dari apa yang manusia lakukan. Bagi mereka, ‘kesadaran kelas’ berarti para pekerja menjadi sadar akan apa yang harus dilakukannya berdasarkan proses sejarah. Ini senantiasa dikutip dari perkataan Hegel, “Kebebasan adalah pengenalan atas keterpaksaan” . Dengan senantiasa mengacu bahwa sosialisme “tidak terelakkan”, pemikir Marxisme mainstream melihat sosialisme sebagai hasil atas proses otomatis dari pembangunan sosial. Secara alami, lawan-lawan Marxisme dari kiri sampai kanan, sudah menunjukkan bahwa sekalipun hal tersebut dikatakan tidak bisa dihindari tapi bukan berarti hal tersebut mesti diupayakan. Apa yang ditawarkan sosialisme sehingga mengharuskan para pekerja (dan membiarkan yang lainnya) berjuang dan berkorban? Marxisme ortodoks tidak bisa menjawab semua ini.

Upaya kaum Marxis libertarian untuk mengguncang otomatisasi Marxis (sebagaimana yang saya rujuk) belumlah bisa dikatakan berhasil penuh. Terutama mereka belum sepenuhnya berhasil menjelaskan bahwa ini bukanlah misinterpretasi atas Marxisme, tetapi justru pusat dari Marxisme-nya Marx. Seluruh poin dalam Das Kapital merujuk bahwa sosialisme pasti terjadi. Namun kau dapat membaca di semua volume dari tulisan-tulisan Marx (saya juga punya) tidak ada satupun pernyataan tentang mengapa sosialisme itu baik atau begitu berharga untuk dicapai. Bagaimanapun, Marx banyak mengkritisi kaum utopis dan anarkis atas mencuatnya pertimbangan moral dalam mencapai sosialisme.

Konsepsi otomatis dan amoral dari Marxisme menghasilkan dampak negatif. Bagi Bolshevik, hal tersebut menjadi pembenaran atas tiraninya. Mempercayai bahwa partailah yang paling tahu akan kebenaran absolut mengenai apa yang mesti dilakukan (yakni, memiliki kesadaran kelas yang benar), dan tentu saja ini hanyalah penjabaran tugas-tugas sejarah yang mendesak, mereka merasa benar untuk membunuh atau melakukan penindasan – dengan alasan pembebasan umat manusia tentunya. Betapapun, mereka mengetahui kelak hal tersebut akan dibenarkan.

Untuk kaum sosial demokrat, keotomatisan amoral ini memberikan pembenaran akan sikap pasif dan kebijakan yang tidak revolusioner. Mereka membentuk partai politik yang berlaga dalam pemilu, dan mendukung organisasi massa yang bernegosiasi dengan modal. Padahal mereka tak punya strategi apapun kecuali terus menerus berjalan seperti itu. Sementara itu, mereka terus melakukan penindasan dengan mendukung imperialisme negaranya. Mereka juga berfikir bahwa kelak ini dapat dibenarkan.

Hal ini juga menerima pembangunan kapitalis, yang dipercaya dapat mendorong ke arah sosialisme, kebanyakan Marxis menerima aspek-aspek lain dalam kapitalisme. Teknologi anti-lingkungan, yang ditempa untuk tujuan eksploitasi, telah dikuasai. Begitu pula dengan tendensi sentralis dalam ekonomi, politik, dan organisasi militer yang diciptakan untuk kesengsaraan umat manusia.

Ini bukanlah untuk mengingkari bahwa ada sebuah kecenderungan dalam kapitalisme yang berpotensi mendorong ke arah kebebasan sosialis, khususnya perjuangan kelas pekerja, seperti halnya yang dipikirkan Marx. Namun ada kecenderungan sebaliknya (seperti kecenderungan akan disuap atau pekerja yang lebih miskin untuk menyerah). Tidak ada otomatisasi disini, tidak hal yang tidak dapat dihindari, mengenai revolusi sosialis. Kapitalisme tidak mungkin menciptakan sosialisme untuk kita.

Beberapa Marxis libertarian, seperti James dan Dunayevskya serta pengikutnya, telah berupaya keluar dari Marxisme versi mekanik tersebut dan kembali pada filsafat Hegel. Inilah akhir yang mematikan. Memang benar bahwa dialektika Hegel menggambarkan dunia yang bergerak dinamis, kontradiktori, dan menunjukkan saling keterhubungan (menyerupai ekologi), bukannya mekanik dan kaku. Namun dia melihat bahwa sejarah tetap ikut proses otomatis, bergerak ke akhir yang tidak bisa dihindari. Ujung tersebut adalah ciptaan dari filsafat Hegel – dan, pada masyarakat, monarki Prusia – sebagai titik kulminasi sejarah. Organisasi The News and Letters sekilas memandang keberadaannya dalam rangka untuk menjelaskan kepada pekerja hubungan aksi-aksi mereka dengan filsafat Hegel. Juga untuk mengorganisir para aktifis agar lebih mendalami studi atas versi realitas (membawa Hegel ke pekerja) yang otoritarian dan mengalienasi ini sebagai bentuk dari elitisme. Marx membebaskan dirinya dari Hegel dan ini adalah kesalahan untuk mundur kembali.

Cleaver (yang tidak terlalu banyak mengikuti Hegel) juga menunjukkan kegagalan yang sama bagi otomatisasi Marxis, bahkan ketika dia telah berfikir melewati semua itu. Sebagai contoh, ia memuji Kropotkin (Cleaver, 1993) untuk menunjukkan bagaimana aspek masa depan telah muncul, dan menunjukkan bagaimana kekuatan hari ini dapat menjelma di masa mendatang. Berkebalikan dengan itu, Cleaver secara spesifik menolak interpretasi George Woodcock bahwa Kropotkin mengungkapkan berbagai hal kemungkinan yang bisa terjadi. Cleaver juga menolak analisis apapun yang terkait dengan apa yang seharusnya atau sebaiknya terjadi di masa mendatang. Sebagai gantinya, Kropotkin menurut Cleaver memfokuskan pada indikasi-indikasi hari ini yang dapat dipastikan dan sah dikembangkan dalam anarkisme komunis.

Sungguh menarik bahwa hal ini adalah aspek dari Kropotkin yang dikritik Malatesta. Errico Malatesta, anarkis besar Italia menuliskan dalam “Recollections and Criticisms of an Old Friend” (1977; pp. 257-268), sebagai sebuah penghormatan atas Kropotkin. “Dua kekeliruan” utama Kropotkin, yang dikritiknya secara khusus adalah “fatalisme mekanistik” dan “optimismenya yang berlebihan”. Malatesta secara tersirat mengungkapkan bahwa kekeliruan ini mengantar Kropotkin menghianati anarkisme atas dukungannya pada Sekutu di PD I (Jerman diduga bertentangan dengan pengembangan kerjasama dan asosiasi bebas dalam negara-negara sekutu). Cleaver tidak menyebutkan ini, hal yang semestinya bagi seorang pengagum Kropotkin.

Otomatisitas mekanik dari Marxis libertarian tidak melalui sebuah konsep partai tapi dalam pemikiran mereka, yakni melalui massa. Mereka percaya diri bahwa pada akhirnya para pekerja akan melakukan hal yang benar. Kaum libertarian menunjukkan sedikit penghargaan atas kesadaran yang bercampur diantara pekerja, yang dipengaruhi gegap gempitanya media massa. Mereka mengingkari kebutuhan untuk mengorganisir dalam rangka melawan kaum konservatif atau sosial demokrat maupun kekuatan Stalinis di dalam kelas pekerja. Sebagai Marxis, para otonomis justru adalah pasif sebelum kekuatan sejarah.

Sama halnya dengan itu, komunis konsil menolak ide bahwa sosialisme dapat berhasil di negara tertindas, karena mereka terlalu miskin dan secara teknologi tertinggal untuk mengembangkan sebuah masyarakat luas yang diperlukan sosialisme (komunisme). Oleh karena itu, komunis konsil menerima kapitalisme (atau kapitalisme negara) sebagai bentuk terbaik dari penindasan sebuah negara yang paling mungkin di era ini. Mereka tidak melihat bhawa negara-negara neo-kolonial adalah bagian dari sistem kapitalisme dan oleh karena itu esensi dari revolusi proletariat adalah revolusi sosialis di seluruh dunia.

Dalam kaitannya dengan penerimaan otomatisitas Marxis, kaum Marxis libertarian sungguh sayang berada dalam posisi lemah, seperti banyak kaum anarkis, bahkan lebih buruk. Terdapat barisan anarkisme yang menuju pembangunan organisasi revolusioner yang dapat berfungsi dalam organisasi massa seperti (tapi bukan hanya) serikat buruh (Malatesta, atau gerakan platformis Makhno). Tapi Marxis libertarian sangat trauma dengan Leninisme dimana mereka menolak segala organisasi revolusioner – membuat hal ini hampir mustahil memahami mengapa mereka mengorganisir, jika mereka mengorganisir. (dan jangan lupa, Catroriadis juga membangun sebuah organisasi dan Socialism or Barbarism juga dibahas dalam tulisan ini).

Meyakini bahwa pekerja pada akhirnya akan membuat segala sesuatunya menjadi baik, para Marxis libertarian justru cenderung menjadi pasif dalam hubungannya dengan isu atas strategi atau organisasi. Contoh paling aneh adalah pernyataan seorang otonomis Italia, Antonio Negri (dan M. Hardt, 2000): “Menolak anggapan umum bahwa para proletariat AS lemah dikarenakan rendahnya perhatian partai dan serikat pekerja terhadap Eropa … mungkin kita seharusnya melihat ini lebih kuat demi tepatnya alasan-alasan tersebut. kekuatan kelas pekerja tidak berada dalam institusi representatif tetapi justru dalam antagonisme dan otonomi pekerja sendiri” (h. 269). Melalui pendapat ini, kemunduran drastis beberapa serikat pekerja di AS, dan keberhasilan para penghancur kekuatan serikat pekerja, telah berhasill membuat pekerja AS lebih kuat. Bilamana semua serikat pekerja dihancurkan, maka pekerja akan lebih kuat dari semuanya! Lalu mengapa para kapitalis terus menerus menekan serikat pekerja?

Kaum komunis konsil memang tepat menolak Lenin dalam hal melawan negara-partai dan mengupayakan sebuah sistem melalui dewan-dewan pekerja. Namun ini tidak membuktikan bahwa mereka benar pada hal lain, seperti misalnya dalam fleksibilitas strategi dan taktik yang diusung Lenin. Mereka juga benar melawan Lenin dalam menolak elektoralisme namun keliru dalam menolak berpartisipasi dalam serikat pekerja. Saya tidak sedang berargumen disini sekarang, namun saya menekankan bahwa tidak ada keterkaitan yang jelas antara masing-masing masalah. Masalah-masalah tersebut perlu dipecahkan secara terpisah-pisah.

Marxis otonomis, sementara itu, sama lemahnya dengan kelemahan anarkisme. Tidak melihat kebutuhan akan organisasi mandiri yang revolusioner. Ini jelas tidak fleksibel secara strategis, terutama dengan menolak bekerja dalam serikat pekerja, organisasi massa utama dalam kelas pekerja. Ini belum bisa melampaui kelemahan kunci dari Marxisme, utamanya pandangan otomatisasi Marxis atas sejarah.

Ada banyak hal dalam Marxisme yang dapat digali oleh kaum anarkis. Di antaranya, Marxisme menunjukkan hubungan antara fungsi kapitalisme dengan pengembangan kapasitas kelas pekerja dalam swa-aktifitasnya, dan mendorong pada penciptaan masyarakat sosialis yang revolusioner. Namun Marxisme, ya Marxisme, bukanlah sekedar kumpulan konsep-konsep yang bisa diambil atau ditinggalkan begitu saja. Ini bermakna sebagai sebuah cara pandang yang total dan menyeluruh atas sebuah kelas baru. Termasuk dalam ekonomi (teori nilai), strategi politik (elektoralisme) , sebuah metode tentang analisis kelas (materialisme historis), serta filsafat alam (materialisme dialektika) – semuanya kecuali pandangan etik dan moral. Kesemuanya berdiri maupun runtuh atas satu hal. Seperti biasanya, Marxisme bukan program dari kelas pekerja, seperti yang dimaksudkan, namun hanya program kelas berkuasa dari negara kapitalis.

Dalam beberapa hal, ini dapat disamakan dengan liberalisme. Banyak hal dari anarkisme diambil dari liberalisme klasik. Para anarkis sepakat dengan gagasan liberal seperti kebebasan berbicara, berserikat, pluralisme, federalisme, demokrasi dan hak menentukan nasib. Namun liberalisme hari ini adalah wajah kiri dari kapitalisme imperialis dan kita bukanlah kaum liberal! Sama halnya dengan sebelumnya, disaat beberapa hal diambil dari Marxisme, maka kaum sosialis yang percaya akan pembebasan akan lebih baik untuk menjadi seorang anarkis.

Brecher, J. (1972). Strike! San Francisco: Straight Arrow(Rolling Stone).
Chomsky, N. (1970). Introduction. In D. Guerin (1970).
Anarchism. NY: Monthly Review Press.
Cleaver, H. (2000). Reading Capital Politically. San Francisco, CA: AK Press.
Cleaver, H. (1993). In T.V. Cahill, ed. Anarchist Studies. Lancaster, UK: Lancaster University (2/24/93).
Curtis, D.A. (1997). (Ed. and trans.). The Castoriadis Reader. Oxford, UK: Blackwell.
Dunayevskya, R. (1992). The Marxist-Humanist Theory of State Capitalism. Chicago: News and Letters.
Glaberman, M. (1999). Marxism for Our Time: C.L.R. James on Revolutionary Organization. Jackson: University Press of Mississippi.
Glaberman, M. & Faber, S. (1998). Working for Wages: The Roots of Insurgency. Dix Hills, NY: General Hall.
Goodman, P. (1962). Drawing the Line: A Pamphlet. NY: Random House. Partially reprinted in P. Goodman (1979) Drawing the Line: The Political Essays of Paul Goodman (T. Stoehr, ed.). NY: E.P. Dutton.
Hardt, M., & Negri, A. (2000). Empire. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Malatesta, E. (1984). Errico Malatesta: His Life and Ideas. V. Richards, ed. London: Freedom Press.
Mattick, P. (1969). Marx and Keynes: The Limits of the Mixed Economy. Boston: Porter Sargent. McLemee, S. (1996). (Ed.). C.L.R. James on the “Negro Question.” Jackson: University Press of Mississippi.
Rachleff, P. J. (1976). Marxism and Council Communism: The Foundation for Revolutionary Theory for Modern Society. New York: Revisionist Press.
Root and Branch (1975). Root and Branch: The Rise of the Workers’ Movements. Greenwich, CN: Fawcett Publications

Dapat juga dibaca DISINI

Leave a Reply