1. Wakil Ketua Pengadilan Negeri
Makassar
Penerbitan surat Bantuan Pengamanan
Eksekusi yang ditandantangani oleh Wakil Ketua PN Makassar dibuat dengan
melanggar prinsip “cermat” sebagaimana diatur dalam huruf E angka 2. huruf e,
KMA Nomor: 026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan, karena Surat
Tersebut dibuat sangat tergesa-gesa yakni pada tanggal 9 September 2014
bersamaan dengan tanggal yang mendasari penerbitan Surat tersebut, yakni surat
Kapolrestabes Makassar tertanggal 9 September 2014 Nomor: B/2042/IX/2014, dan
pada hari dan tanggal yang sama pula surat tersebut dilayangkan kepada warga
Jalan Pandang Raya (TERMOHON EKSEKUSI);
Penerbitan surat Bantuan Pengamanan
Eksekusi diduga melanggar prinsip “Tidak menjunjung tinggi nilai-nilai
akuntabilitas dan integritas institusi”, sebagaimana diatur dalam huruf E angka
2. huruf h, KMA Nomor: 026?KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan,
karena penerbitannya hanya didasarkan pada Surat Kapolrestabes Makassar
tertanggal yang sama dengan tanggal penerbitan Surat Bantuan Pengamanan
Eksekusi yakni tanggal 9 September 2014. Sehingga terdapat kesan bahwa Terlapor
telah didikte oleh institusi Kepolisian, tanpa terlebih dahulu mempelajari dan
meneliti dokumen terkait, khususnya Fatwa Mahkamah Agung RI tertanggal 20 April
2014 dan beberapa fakta mengenai ketidakjelasan obyek tanah sengketa yang akan
dieksekusi, sebagaimana yang dimaksud dalam Surat surat Lurah Pandang Kota
Makassar Nomor: 64/KPD/VIII/2009, perihalnya adalah penjelasan mengenai letak
obyek pajak bumi dan bangunan (PBB) an. Drs. Goman Wisan, Surat Camat
Panakukang Tanggal 16 Desember 2009 tentang perbedaan persil masing-masing 52.a
SI dan Persil 52.a SII; dan Surat Keterangan Kepala Kantor Badan Pertanahan
Nasional Kota Makassar Nomor:2835/600.14.7371/XI/2009, tentang perbedaan obyek
tanah;
2. Kapolrestabes Makassar
Sebagaimana telah diuraikan di atas,
bahwa pelaksanaan Eksekusi tidak bersumber dari hasil kajian/ penelitian berkas
Perkara dan dokumen terkait oleh Ketua Pengadilan Negeri, melainkan berdasarkan
inisiasi Kapolrestabes Makassar berdasarkan Surat Kapolrestabes Makassar Nomor:
B/2042/IX/2014, tertanggal 9 September 2014. Sementara sebagaimana yang diatur
dalam ketentuan hokum acara perdata yang berlaku (Pasal 195 HIR/Pasal 207
RBG)adalah kewenangan menjalankan putusan (eksekusi) Perdata merupakan
kewenangan dari Ketua Pengadilan, yang tentunya menurut ketentuan yang diatur
dalam HIR/R.bg dan ketentuan Hukum Acara lainnya (Peraturan dan/atau Surat Edaran
Ketua Mahkamah Agung RI). Adapun tugas institusi Kepolisian seharusnya hanya
bersifat Passif yakni hanya memberikan bantuan pengamanan berdasarkan
permintaan dari Pengadilan. Atas fakta ini, dapat diduga Kapolrestabes Makassar
telah larangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 huruf p dan q PP No. 2
TAhun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian, yang berbunyi :
“Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang
…. P. melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau
mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian
bagi pihak yang dilayani; q. menyalahgunakan wewenang;