Setelah aksi berjalan kaki keliling Makassar dari tanggal 20 Oktober sampai tanggal 23 oktober 2014 kemarin, para pejalan tersebut mengeluarkan komunike yang sempat kami dapat dari blog perangpandang.wordpress.com
MENGHADIRKAN SETIAP KEMUNGKINAN DALAM SETIAP
PERJUANGAN.
Selamat siang kawan.
Kami telah berjalan kaki. Mengelilingi kota
Makassar. Empat hari tiga malam. Dingin dan panas. Kami tertawa dan saling
menghibur untuk luka yang terus kami ingat dan kami bawa dalam perjalanan. Kami
tak pernah lupa bahwa kondisi yang kami lalui selama empat hari ini, di
jalan-jalan kota makasssar, sama seperti
yang dialami oleh warga pandang raya yang berada di tenda biru tempat
kami berteduh setelah digusur.
Kondisi ini yang membuat kami terus-menerus
bersemangat untuk berjalan kaki. Kondisi ini pula yang terkadang membuat kami
mengeluh dan berdebat di sela waktu istirahat di siang hari tentang “apa yang
akan kami lakukan setelah ini?”.
Dalam perjalanan. Kami menemukan banyak rupa,
banyak mimik, banyak respon dari warga Makassar. Kami mengucap banyak terima
kasih pada pengguna jalan yang telah ikut berpartisipasi. Untuk para mahasiswa
yang menyambut hangat kami dan membawa kami berkeliling di kampus mereka, kami
ucapkan terima kasih dan selalu bangga atas sambutan kalian. Setidaknya kami
sadar, walau tak pernah berkuliah, bahwa kampus sama seperti Negara ini, ada
banyak respon, sama seperti jalanan. Ada yang menyambut hangat, ada yang tak
mau menerima selebaran, ada yang tersenyum, dan bahkan ada yang memandang
sinis. Tapi toh kami masih tetap berjalan walau dengan kaki pincang karena
kelelahan.
Beberapa dari kami mengatakan “ternyata saya
bisa menyelesaikan aksi ini”. Jika mengingat kembali perbincangan awal sebelum
melakukan aksi ini, kebanyakan dari kami bahkan ragu dengan kekuatan fisik dan
mental yang kami miliki. Namun segalanya bisa berubah, segala kemungkinan,
segala ketakutan akan hancur ketika kita mau mencobanya.
Mencoba adalah hal yang akan menghadirkan
banyak kemungkinan dan menghancurkan mitos tentang “tak bisa”.
Untuk para paritisipan solidaritas yang
tergabung dalam tim, kami juga sangat berterima kasih. Mereka yang menyiapkan
konsumsi untuk kami santap, mengabarkan terus-menerus tentang kondisi kami
lewat media sosial, menyebarkan info lewat sms pada kawannya, membawakan kami
tenda untuk digunakan saat waktu istirahat tiba, hingga menemani kami tertawa,
mengajak kami bercerita, bahkan menemani kami berjalan ataupun sekadar datang
di tenda tempat kami istirahat dan ikut tertawa dan mendengar cerita kami. Kami
bangga pada kalian, kawanku.
Kami terluka kawan, namun tak akan pernah lupa
untuk terus mengobati luka kami. Kami merawat luka ini dengan baik.
Menyembuhkannya dan takkan menghilangkan bekas.
Beberapa dari mereka mungkin bertanyadan
member komentar; untuk apa aksi seperti
ini?, mengapa mereka tak menggunakan saja kendaraan untuk berkampanye?, apa
tujuan dari aksi yang memakan banyak biaya untuk memfoto copy selebaran hingga
18. 600 lembar dan memeras sangat banyak tenaga? Atau bahkan sampai
komentar sinis tentang aksi yang kami lakukan adalah aksi yang sangat
mainstream dan hanya bertujuan agar diliput di media-media mainstream.
Kami telah mengabarkan rencana aksi kami 6
hari sebelumnya, kami mempersiapkan setiap hal yang kami butuhkan dan
mengobrolkan pada partisipan solidarits yang lain. Karena kami sadar bahwa kami
tak bisa melakukan beberapa hal secara bersamaan dan membutukan sebuah tim
untuk menunjang kampanye kami demi memperluas isu yang kami usung bersama.
Kami memilih berjalan tentu dengan beberapa
pertimbangan dan segala konsukuensinya yang telah kami pikirkan sebelumnya.
Kami memilih berjalan karena dengan berjalan kami bisa menyebarkan isu ini
dengan cukup efektif dibanding menggunakan kendaraan yang lebih memakan banyak
biaya dan akan tidak efektif jika melihat kondisi kota Makassar yang semakin
dipadati kendaraan.
Selebaran yang kami bagi adalah salah satu
strategi penting untuk menunjang isu agar diketahui banyak warga walaupun tak
seberapa dengan jumlah warga Makassar yang jauh lebih banyak. Setiap warga
mesti mengetahui kondisi kami, bagaimana kami berjuang, dan apa yang kami
perjuangkan. Sebab dengan berteriak saja menurut kami kurang efektif dibanding
berjalan kaki dan menyebarkan info lewat selebaran, sms, dan jejaring sosial
media.
Kami memang berharap aksi kami diliput oleh
banyak media, baik media mainstream, media yang dikelola organisasi kampus atau
media independen. Namun, kami tak sepenuhnya bergantung pada itu semua, sebab
kami percaya bahwa dengan turun langsung mengabarkan kondisi kami pada setiap
warga akan berdampak langsung dan akan melihat langsung kondisi kami yang
berjalan kaki tanpa kebohongan dan bisa langsung berkomentar dan kami dengar.
Semenjak 12 september lalu, kami masih tetap
berjuang, bukan sekadar slogan “Pandang Raya Belum Kalah” “Pandang Raya Takkan
Menyerah”, bukan! Ini adalah kenyataan, sebuah realitas. Bukan sekadar slogan.
Ini belum berakhir, perjuangan kami sebagai
pemuda tidak sampai di perjuangan berjalan kaki “mecari keadilan”. Masih banyak
yang mesti kami lakukan demi mendapatkan kembali tanah dan kehidupan kami. Kami
mesti berjuang untuk menduduki tanah kami yang sudah mulai dipasangi beton hari
ini, karena jika menunggu kebaikan hati pemerintah, mungkin akan berlangsung
lama, atau mungkin saja tak akan terjadi dan pada akhirnya bekas puing rumah
dan tanah kami akan digantikan oleh bangunan tinggi yang bercokol dengan kuat.
Kami mesti melakukan pengorganisiran pemuda lainnya, mengikuti pertemuan antar
warga, pertemuan dengan para partisipan solidaritas, dan masih akan bayak
belajar dari banyak pengalaman-pengalaman yang bisa menjadi pelajaran penting
untuk perjuanga kami dan warga lainnya.
Akhirnya, kami mesti kembali berjuang.
Mengumpulkan tenaga, menyiapkan strategi, membangun solidaritas, dan menjaganya
agar tetap membara dan menyebar ke sitiap penjuru dunia. Kami yakin, kami tidak
sendiri. Kami mesti melakukannya sekarang, bukan menunggu, mulai sekarang.
Salam hangat dari
kami,
Pemuda pandang
Raya.
Tenda perjuangan 24
oktober 2014.